Translate your Languages

Rabu, 04 April 2012

“ Ku Sebut Namamu, Wujud Pembuktianku “

 Sunday, 15 August 2010

Suatu sabtu siang yang cerah, terdapat dua orang sahabat sedang berjalan pulang dari sekolah. Kedua anak itu bernama Alief dan Heri. Alief berperawakan lebih cuek dan dingin, dan berbanding terbalik dengan sahabatnya,  Heri, yang lebih supel.
Saat perjalanan pulang, Alief menanyakan pada Heri tentang perkembangan bulutangkis yang akhir-akhir ini mulai merosot, kebetulan Heri penggemar berat bulutangkis.
“Her, menurut kamu bulutangkis di Indonesia itu gimana sich? “, Tanya Alief.
“Menurutku sekarang Indonesia lagi krisis pemain handal. Lagian masak cuma anak Pelatnas aja yang di pikirin. Emang di daerah lain nggak ada yang sehebat mereka yang ada di Pelatnas?”, Timpal Heri.
“Memangnya ada gitu pemain daerah yang lebih hebat dari pemain Pelatnas?”, Tanya Alief.
“Kamu ini gimana sich, Lif. Kamu sudah lama bersahabat sama aku, masak nggak tau tentang atlit dari Pamekasan yang hebat?”, Ujar Heri.
“Emang kamu pernah cerita ke aku kalau ada pemain dari Pamekasan yang hebat? Kayaknya nggak ada deh?”, jawab Alief.
“Wah… Parah kau, Lif! Aku ini kan sudah lama gabung klub bulutangkis di Pamekasan, dan yang aku maksud atlit yang hebat dari Pamekasan itu AKU!” , jawab Heri.
“Hu.. aku kira siapa! Eh, ternyata atlit lokal tanpa gelar!”, ujar Alief.
“Tenang… Tenang… Aku akan berusaha pada seleksi Pelatnas 2 minggu lagi!”, jawab Heri.
“Terserah lah! Kamu ini emang rada aneh!”, jawab Alief.
Dan pada perempatan jalan mereka berpisah.
* * *
Sore harinya.
“Lief, kamu entar malem ada acara nggak? Jalan yuk… Sekalian cuci mata gitu!”, sahut Heri di seberang telefon.
“Ha… Apa?... Nggak ah… Aku lagi males. Lagian aku nggak ada bensin!”, jawab Alief rada linglung karena baru bangun tidur.
“Eits… Tumbenan kau menolak permintaanku? Ayolah, Lief! Masak iya sich kamu betah tiap hari lihat cewek yang itu-itu aja di sekolah?”, Tanya Heri.
“Aku ini bukan kamu tau. Lagian biasanya kamu tiap malem minggu latihan. Kok sekarang nggak? Katanya mau jadi yang lebih hebat dari anak-anak yang ada di Pelatnas?”, Tanya Alief.
“Ya… Males kalau tiap malem minggu latihan!”, jawab Heri.
“Entar kalau ditanya Pak Sahi di sekolah? Kamu mau jawab apa?”, Tanya Alief.
“Ya… Bilang ajak di ajak Alief keluar!”, jawab Heri.
“Enak banget! Nggak ah… Aku nggak mau!”, ujar Alief marah.
“Santai, Lief. Aku yang mau nanggung. Aku nggak akan bawa-bawa nama kamu deh”, jawab Heri.
“Jangan Cuma janji, Her. Janji traktir bakso aja nggak pernah di tepati. Jadi nggak yakin!”, jawab Alief.
“Berapa tahun sich kita sahabatan? Masak kamu nggak percaya-percaya sama aku? Ok? Kamu jemput aku ya?”, ujar Heri.
“Parah… Kamu yang ngajak, biasanya kamu yang jemput”, timpal Alief gusar.
“Aku janji deh, Lief. Entar kalau lulus seleksi Pelatnas, aku ganti uang bensin plus janji bakso yang belum kesampaian!”, yakin Heri.
“Ya… Kalau lulus? Kalau nggak?”, tanya Alief.
“Mangkanya kamu do’ain aku, biar lulus terus bisa ganti uang bensinmu!”, jawab Heri.
“Terserahlah… Ya sudah, aku mandi dulu. Lagian aku juga belum shalat Ashar!”, ujar Alief.
“Ya… Cepatlah kau shalat. Jangan lupa kau do’akan aku biar lulus seleksi. Ok?”, ujar Heri.
“Dasar… Parah kau, Her!”, jawab Alief seraya menutup telefon.
* * *
Malam harinya di rumah Heri.
“Assalamu’alaikum…”, salam Alief.
“Wa’alaikumsallam. Eh… Kak Alief. Silahkan duduk, kak. Cari siapa?”, Tanya adik Heri yang di ketahui bernama Ghayu.
“Heri-nya ada, dek? Tadi sudah janji mau pergi”, jawab Alief.
“Ah… Kak Alief jangan bohong. Masak mau  ketemu aku aja pake alasan cari kak Heri. Langsung bilang aja, kak. Ghayu nggak punya cowok kok”, jawab Ghayu.
Alief hanya tersenyum dan berkata dalam hati.
“Wah… Parah ini cewek! Lebih parah dari Heri!”, batin Alief.
“Ngapain sich kak pake senyum segala. Aku jadi GR nie”, ujar Ghayu.
Alief hanya diam dan hanya mengernyitkan dahi.
Lalu tiba-tiba Heri datang.
“Lief, kamu sudah datang dari tadi? Kok nggak bilang-bilang sich”, Tanya Heri.
”Tadi kak Alief bilang mau cari kak Heri, tapi itu pasti cuma alasan buat ketemu sama aku!”, jawab Ghayu.
“Lief…Lief… Anak SMP aja kamu mau!”, ejek Heri.
“Ya udah, ayo berangkat, Her!”, ajak Alief.
“Ayo… Dari tadi gitu!”, jawab Heri.
“Hm… Dek, entar kalau ibu sama ayah tanya, bilang kakak lagi beli raket sama kak Alief!” ujar Heri pada Ghayu.
”Ok, kak. Sekalian aku mau bilang ke ibu kalau kak Alief juga sempat nyariin aku”, jawab Ghayu.
“Ya… Terserah kau lah! Cepat masuk!”, ujar Heri lagi.
“Dasar… Kakak sama adek nggak ada bedanya ya? Sama-sama narsis dan PD-nya tinggi banget!” sahut Alief setengah berbisik.
“Ya… Itulah, Lief. Keluarga yang unik tapi bahagia”, jawab Heri.
Setelah itu mereka berangkat dan berkeliling Pamekasan guna menghabiskan malam minggu.
* * *
Pukul 22.30 WIB mereka pulang, tapi sebelumnya Alief harus mengantarkan Heri terlebih dahulu.
“Makasih, Lief. Kau memang sahabat paling baik. Aku janji deh, lulus seleksi Pelatnas”, ujar Heri.
“Heh… Usaha dan buktikan. Latihan aja nggak. Mana bisa masuk Pelatnas. Buktinya jadi nggak ada deh”, ujar Alief.
“Tenang, Lief. Ini keyakinan dari hati. Aku janji akan berusaha sekuat tenaga dan jika aku menang, aku tak akan lupa menyebutkan nama ALIEF CAHYA HERDIANSYAH SEBASTIAN di atas podium kehormatan”, jelas Heri.
“Aku tunggu bukti dari kamu!”, jawab Alief.
“Peganglah janjiku. Pasti akan aku tepati!”, ujar Heri.
“Ya sudah… Aku pulang dulu ya! Salam deh ke ibu dan ayahmu!”, ujar Alief.
“Ok… Hati-hati, Lief. Jangan lupa dukung aku pas seleksi Pelatnas dua minggu lagi!”, sahut Heri.
“Sip… Tenang aja. Assalamu’alaikum…”, sahut Alief.
“Makasih… Wa’alaikumsallam…”, ujar Heri lagi.
* * *
Dua minggu telah berlalu dan seleksi Pelatnas pun dimulai. Alief yang berjanji akan menyaksikan pertandingan Heri tampaknya sudah siap dan telah sampai di GOR SMAN 3 Pamekasan lebih awal.
“Lief, aku deg-degan ini! Entar kalau aku kalah gimana?”, jelas Heri gelisah.
“Heh… Jangan pesimis gitu dong. Kamu itu harus selalu optimis kamu bisa. Aku aja yakin kalau kamu bisa!”, ujar Alief menenangkan Heri.
“Do’ain aku ya, Lief. Biar aku bisa lulus dan bisa bayar uang bensinmu!”, ujar Heri.
“Sudahlah… Kamu nggak usah pikirin bensin. Do’aku selalu mengiringimu”, jawab Alief.
“Kayak aku mau mati aja, Lief. Mengiringi!”, ujar Heri.
“Sudah kamu pemanasan aja. Aku mau masuk dulu!”, ujar Alief seraya meninggalkan Heri.
                    * * *
Di dalam GOR.
“Eh… Kak Alief. Duduk disini aja, kak. Bareng aku. Biar nanti kak Heri nggak susah yang mau cari kita”, ujar Ghayu.
“Iya, dek. Makasih.”, jawab Alief sinis.
Pertandingan pun dimulai. Tanpa di duga Heri menang dalam pertandingan itu. Dan tinggal selangkah lagi Heri akan lulus seleksi Pelatnas.
“Hebat kamu, Her. Gitu dong!”, timpal Alief.
“Makasih, Lief. Ini juga berkat kamu yang selalu dukung dan mendoakan aku”, sahut Heri hampir menangis.
“”Her, apa gunanya sahabat kalau nggak saling dukung dan mendoakan!”, jawab Alief.
“Iya, Lief. Aku baru sadar akan hebatnya persahabatan kita!”, jawab Heri.
“Ya sudah, sekarang kamu istirahat dan persiapkan untuk tanding besok! Her, sebutlah namaku di atas podium!”, ujar Alief.
“Aku janji, Lief. Aku akan menyebutkan namamu besok!”, jawab Heri.
                    * * *
Keesokannya harinya babak final pun dimulai. Dan tampak Alief dan Nisa kompak menyemangati Heri dari samping lapangan. Dengan membawa galon air mineral untuk menyemangati Heri.
Sedangkan Heri, sebelum bertanding menyempatkan diri untuk melihat ke arah Alief dan bergumam dalam hati.
“Kan ku sebut namamu, Lief, sebentar lagi!”, ujar Heri dalam hati.
Pertandingan akan segera di mulai. Lawan Heri kali ini adalah Jonatan Satria dari klub kuat yaitu Tangkis. Pada awal pertandingan, Heri sedikit susah melayani permainan Jo. Jo sempat memimpin 12-6 dan menutup set pertama dengan skor 21-11. Pada set ke-2, Heri nampaknya sudah dapat sedikit membaca permainan Jo. Terjadi kejar-kejaran angka dalam set ke-2. Ketika skor 19-19, terjadi reli-reli panjang yang menguras tenaga Jo dan Heri. Tampaknya baik Jo maupun Heri tidak ada yang mau mengalah, hingga mecapai skor 22-22. Namun dengan konsentrasi tinggi dan disiplin, Heri mengakhiri set ke-2 dengan skor 24-22.
Memasuki set ke-3, Heri tampak kelelahan. Begitu juga dengan Jo. Memasuki awal set-3, persaingan sangat ketat. Terjadi kejar-kejaran angka dari skor 6-6, 7-7, 8-8, dan Jo berhasil mencapai angka 11 lebih awal. Kondisi Heri semakin tertekan, namun dia berusaha tenang dan tetap optimis. Setelah turun minum selama 2 menit, pertandingan di lanjutkan kembali. Jo yang memimpin 3 angka bermain lebih tenang, sedangkan Heri sering membuat kesalahan sendiri yang membuatnya tertinggal 18-11. Namun karena factor kelelahan, konsentrasi dan kedisplinan Jo sedikit turun. Sehingga skornya dapat di susul Heri. Skor imbang 18-18. Jo mencoba bangkit dengan menambah satu angka 19-18 dengan keunggulan Jonatan Satria. Tetapi Heri tidak pantang menyerah, dan dengan usaha yang gigih, Heri dapat mengakhiri perjuangan Jo dengan skor 21-19. Dan akhirnya Heri berhasil menjadi juara dan lulus seleksi Pelatnas serta akan menjalani pembinaan di markas Besar PBSI di Cipayung, Jakarta.
Sontak GOR Pamekasan bergemuruh. Semua penonton suka cita atas kemengangan Heri. Nisa dan Alief pun ikut girang atas kemenangan Heri.
“Akhirnya kamu bisa buktikan ke aku kalau kamu bisa, Her”, gumam Alief dalam hati seraya menatap Heri yang naik ke podium juara.
“Lief, aku sudah buktikan ke kamu kalau aku bisa. Kamu bisa bangga dengan sahabatmu ini dan akan ku sebutkan namamu sebentar lagi!”, gumam Heri dalam hati juga sambil menatap Alief.
Pada saat prosesi pemberian hadiah, pembawa acara mebacakan satu per satu juara seleksi Pelatnas tersebut.
“Untuk juara tunggal putri, Afifah Lulu’ dari klub Sagas. Juara ganda putra, Aji Ziaulhaq dan Zendy Ahmad dari klub Diamond. Juara ganda campuran adalah Deby Rihar dan Nova Haryanto dari klub Bysat. Juara ganda putri dari klub Macip adalah Pradiar Imas dan Alpinz Putri dan juara tunggal putra yaitu Felix Heri dari klub Smangga”,ujar pembawa acaranya dengan semangat.
Para penontok bertepuk tangan. Tampak gemuruh GOR pada saat itu.
Prosesi pemberian hadiah pun selesai. Satu per satu pemain mengadakan jumpa pers dengan para wartawan. Mulai dari Afifah Lulu’, Aji Ziaulhaq, Zendy Ahmad, Deby Rihar, Nova Haryanto, Pradiar Imas, Alpinz Putri memberikan kesan dan pesan bisa menjadi juara. Dan tibalah saat yang di tunggu-tunggu oleh Heri, yaitu saatnya dia berbicara dan memenuhi janjinya.
“Pertama, saya panjatkan syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberi kesempatan pada saya sehingga saya dapat menjadi juara pada hari ini. Saya juga ucapkan terima kasih kepada pelatih saya, yang telah memberi bimbingan dan pelatihan yang sangat membangun. Kepada keluarga saya yang telah mendukung dan mendoakan saya. Dan tak lupa, saya ucapkan banyak terima kasih kepada sahabat saya, ALIEF CAHYA HERDIANSYAH SEBASTIAN, yang telah mendukung, mendo’akan, memotivasi, dan membantu saya sebelum saya menjadi juara. Serta terima kasih kepada semuanya yang terlibat”, ujar Heri panjang lebar.
Tepuk tangan pun mulai bersahutan bersamaan selesainya Heri berbicara.
                    * * *
Malamnya Alief di undang kerumah Heri untuk makan malam sebagai ucapan terima kasih.
“Áyo, Lief. Di tambah lagi makanannya. Tante khusus buatkan buat kamu low, Lief!”, sahut ibu Heri.
“Oh iya tante. Sudah cukup!”, jawab Alief.
“Nggak enak ya, Lief?”, Tanya ibu Heri.
“Hm… Nggak kok, tante. Enak”, jawab Alief.
“Beneran? Ayo di tambah lagi. Heri! Nisa! Di tambah lagi!”, ujar ibu Heri.
“Iya,bu”, jawab Heri.
“Makasih ya, Lief. Kamu sudah bantu Heri selama ini.”, Terang ibu Heri.
“Iya, Lief. Kalau bukan kamu, siapa yang mau membujuk Heri latihan?”, sahut sang ayah.
“Ah…  Biasa aja om, tante. Itulah gunanya sahabat. Lagian memang Heri berbakat di bulutangkis!” jawab Alief malu-malu.
“Uhuk..uhuk... Ha... ada ada saja kau, Lief!”, ujar Heri kaget.
“Nggak usah pake batuk donk, kak!”, sahut Nisa.
“Haaaa Haaaaa Haaaaa” semuanya tertawa.
“Sudah sudah. Ayo cepat habiskan!”, ujar ibu Heri lagi.
                    * * *
Setelah makan, Alief dan Heri tampak berbicara serius di halaman rumah Heri.
“Lief, aku sudah tepati janjiku. Dan besok aku harus pergi. Aku harus ke Jakarta”, ujar Heri.
“Ya… Nggak apa-apa, Her. Itu kan juga demi masa depan kamu.”, jawab Alief.
“Terima kasih ya, Lief. Kamu dah bantu aku dan menyemangati aku. Aku nggak tau kalau aku nggak ketemu kamu. Mungkin aku tetaplah Heri, atlit bulutangkis lokal tanpa gelar!”, jawab Heri.
“Udahlah, Her. Itu semuanya nggak semuanya dari aku. Itu juga bagian dari usahamu” jawab Alief.
“Aku pasti akan rindu kamu, Lief. Rindu pada sifat dinginmu, rindu pada motivasimu, dan aku akan rindu pada cara kamu menenangkanku, Lief!”, ujar Heri.
“Her, ini zaman modern. Kan ada HP? Aku akan terus memotivasi kamu dari jauh. Dan lagi, aku juga pasti akan rindu pada celotehan, ke-PD-an dan kenarsisanmu yang nggak ada duanya!” jawab Alief.
Mereka pun saling berpelukan dan diam-diam mereka berdua menagis.
                    * * *           
“Makasih om, tante buat makannya. Alief pamit pulang, sudah malam.”, ujar Alief.
“Iya sama-sama. Makasih ya sudah datang.”, jawab ayah Heri.
“Iya, om. Mari. Assalamu’alaikum.”, ujar Alief lagi.
“Wa’alaikumsallam”.
“Lief, jangan lupa besok antar aku.”, sahut Heri.
“Oh iya, Her. Insyaallah”, jawab Alief seraya meninggalkan halaman rumah Heri.
                                                                  * * *
Keesokan harinya pada saat keberangkatan Heri ke Jakarta.
“Lief, kalau aku balik kesini, tetaplah menjadi Alief yang sekarang. Jangan pernah berubah. Takkan dapat di ubah oleh waktu!”, pinta Heri.
“Iya tenang aja, Her. Jangan lupakan aku juga ya… Kalau kamu sudah menemukan yang lebih baik dari aku!”, ujar Alief menggoda Heri.
“Aku nggak akan melupakan sahabat terbaikku. Alief. Akan selamanya menjadi sahabatku, takkan tergantikan oleh siapapun di dunia ini!”, ujar Heri.
Mereka pun berpelukan sangat erat.
Setelah itu Alief berpamitan kepada ayah dan ibunya serta Nisa, adiknya. Heri minta do’a agar dapat menjadi yang terbaik nantinya. Setelah itu Heri pun berangkat ke Jakarta untuk menggapai cita-citanya sebagai atlit bulutangkis professional yang akan berlaga di ajang Internasional.

THE END.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar